Loading...

STIGMA SOSIAL DAN UNCONDITIONAL POSITIVE REGARD

Diterbitkan pada
27 Mei 2025 14:48 WIB

Baca

Selasa, 27 Mei 2025, Mahasiswa Program Studi (Prodi) Bimbingan Konseling Islam UIN Raden
Mas Said Surakarta mengunjungi Rutan Kelas 1 Surabaya. Kunjungan ini disambut hangat oleh
Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Surabaya, Muhammad Ridla Gorjie (Gorjie). Dalam
sambutannya, Gorjie menekankan pentingnya peran Mahasiswa dalam membantu
mengedukasi masyarakat tentang stigma sosial yang melekat pada warga binaan
pemasyarakatan (WBP). “Permasalahan dari dulu dalam program integrasi sosial WBP justru
berasal dari masyarakat, katakan kita punya beberapa produk makanan atau yang lainnya,
namun ketika masyarakat mengetahui produk itu berasal dari kami, menjadi enggan untuk
membeli”. Pihak rutan juga menghimbau agar mahasiswa menghindari terlibat dalam judi
online (Judol). Di era sekarang jejak digital susah untuk dihapus, lebih baik menghindari dari
pada terlibat dengan perilaku yang mengarah pada pidana. Selain itu pihak Rutan juga
menjelaskan mekanisme pelayanan Rutan Kelas 1 Surabaya dan memberikan kesempatan
bagi mahasiswa untuk bertanya.

Galih Fajar Fadillah, sebagai perwakilan Dosen pendamping lapangan (DPL), dalam
sambutannya menekankan bahwa “kita boleh saja tidak suka dengan perilaku seseorang,
namun perlu diingat perilakunya bukan orangnya, sebagai calon konselor kita melihat
seseorang secara utuh atau holistik”. Sebagai bagian dari masyarakat Mahasiswa dihadapkan
dalam pertentang stigma sosial dan konsep yang mereka kenal unconditional positive regard
atau penerimaan tanpa syarat. Penerimaan tanpa syarat dalam konseling menurut Rogers

salah satu kondisi terpenting dalam sesi konseling. Sederhananya, orang akan terbuka dengan
sendirinya ketika merasa diterima oleh orang lain, tanpa banyak persyaratan, seperti harus
menjadi orang baik, harus menjadi orang pintar, kaya, tampan, cantik, dsb. Untuk menciptakan
kondisi demikian perlu pengalaman dan pembiasaan. Oleh sebab itu Mahasiswa perlu dihadapkan pada kondisi yang dilematis seperti, stigma sosial yang cenderung negatif dan
penerimaan tanpa syarat. Didampingi staff seksi pelayanan tahanan, Mahasiswa
berkesempatan melakukan wawancara dengan WBP.

Dalam sesi wawancara dengan WBP, Mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok. Mereka
berkesempatan untuk mendengarkan dan mempelajari secara langsung kehidupan WBP atau
dikenal dengan istilah vicarious learning. Dalam sesi wawancara Mahasiswa mempraktikkan
banyak hal seperti, Probing, Attending, Clarifiying, Empaty Understanding, dsb. Mahasiswa
banyak yang tidak menyangka bahwa WBP pada dasarnya telah menyesali perbuatannya
namun seakan-akan tidak ada ruang bagi mereka untuk berkontribusi positif di masyarakat. Hal
ini menjadi perhatian bersama bagi masyarakat(praktisi), lembaga pemerintahan (policy) dan
perguruan tinggi (akademisi) untuk sedikit demi sedikit membantu WBP yang terkendala dalam
proses reintegrasi sosial, khususnya bagi WBP yang berasal dari keluarga ekonomi menengah
ke bawah. Bantuan yang diberikan disesuaikan dengan bidang dan keahlian
masing-masing-masing pihak yang bertujuan memfasilitasi WBP dalam proses reintegrasi sosial
secara positif dan dinamis.